Karma is (not) a bitch!

Posted on : 11 November 2021

“Karma is a bitch” ungkapan Bahasa Inggris ini mungkin kerap terdengar hadir sebagai respon atas konsep KARMA. KARMA seakan jadi sebuah sistem tak tertulis yang menyebalkan dan patut dicaci, hadir hanya untuk menyebabkan munculnya konsekuensi menyebalkan atau menyakitkan atas tindakan buruk kita. KARMA membuat kita tidak bebas bergerak seenaknya, karena takut langsung kena ganjaran yang sama. Padahal, bila mengenali karma sedikit lebih dalam lagi, mengutuknya mungkin hanya akan jadi sebuah tindakan yang agak aneh dan buang-buang energi positif saja. Karena sebetulnya karma adalah sebuah konsep yang begitu-begitu saja, tidak punya niat jahat pun niat baik apa-apa.

Karma adalah sebuah konsep yang muncul sejak awal munculnya agama Sikh, Hindu, Jainisme, dan Buddha dalam India kuno. Muncul juga secara independen dalam Taoisme, lalu karena terjadi penyebaran, menjadi terakulturasi dalam kepercayaan-kepercayaan lokal di negara-negara tetangga seperti Jawa. Terjemahan langsungnya dari Bahasa Sansekerta berarti “aksi, kerja, dan/atau perilaku.” Namun dapat diartikan juga sebagai prinsipal aksi dan reaksi.

Bagi kartu Earth Magic Oracle Cards ini sendiri, karma dihayati sebagai sebuah ide, bahwa ada bentuk penyimpanan data jiwa dari perjalanan kehidupan sebelumnya. Agak mirip seperti DNA biologis yang sejak awal terjadinya kehidupan telah merekam data-data perjalanan mutasi dan konsekuensi habitat bagi seluruh organisme bumi (termasuk manusia). Kehadiran karma seperti mengandaikan adanya sebuah diri yang purba, diri yang amat sangat tua; bahwa diri yang kita jalani ini sebetulnya telah terikat dalam sebuah peraturan main semesta untuk waktu yang lama. Sebuah jiwa yang mungkin tengah menjalani konsekuensi perilaku dari jiwa kita saat menjadi diri-diri lain di masa-masa lain. Maka dari itu, dalam kepercayaan yang menghayati reinkarnasi, konsep karma mungkin dapat menjadi premis utama bagi diri kita untuk terus belajar dan berbenah di dunia, berdaur sampai ia dapat mencapai bentuk terbaiknya.

Namun terlepas dari siklus daur jiwa, saya ingin melihat karma dari bingkai yang lebih sederhana. Ia adalah pengingat, bahwa hal-hal yang dilakukan seseorang akan membawa konsekuensi sepanjang perjalanannya menjadi sebuah jiwa. Hal yang baik, bila terjadi, reaksinya akan ada di wilayah spektrum yang sama. Begitu pula hal yang buruk. Pucuk sawi langit yang ditiup akan terbang, dan semoga, jatuh ke tanah untuk tumbuh menjadi sawi langit lagi; memberikan keseimbangan alam yang baik-baik. Sedangkan kalau tanpa alasan benih itu tiba-tiba dirusak dan diinjak-injak, maka ya sudah. Ia akan mati bila tidak kuat melindungi daya kehidupannya. Walaupun tidak dapat juga kita ketahui secara pasti, dalam bentuk apa dan kapan konsekuensi perilaku baik-buruk itu akan terjadi. Apalagi aksi dan reaksi tidak hanya dipicu oleh pelatuk di ujung jari kita. Mereka berjalan sebagai rangkaian ledakan dari reaksi berbagai pelatuk yang ditarik beragam jari. Tambah tak terbayang lagi! Karena mungkin saja, mengalahkan upaya menginjak-injak tersebut, tetap tumbuh sebuah tanaman sawi langit; tetap terjadi keseimbangan alam.

Namun yang pasti, menginjak-injak benih sawi langit itu kelewat kurang kerjaan. Hanya menyalurkan energi yang merusak, tidak perlu, dan jahat; dan akan tetap tersimpan untuk dituai suatu waktu nanti. Entah kakinya jadi pegal, sepatunya jadi cepat rusak, atau kupu-kupu jadi jarang datang dan membuat sedih. Walaupun bentang baik dan buruknya sesuatu itu masih abu-abu, tapi paling tidak spektrumnya tetap nyata. Seperti melakukan hal yang menyenangkan untuk memuaskan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain, sedari awal spektrumnya sudah ada dalam wilayah yang tidak terlalu baik dan menjaga. Tidak dipikirkan secara matang konsekuensinya, maka bukan tidak mungkin karmanya akan termanifestasi sebagai sebuah hasil yang akan menyusahkan atau membebani perjalanan sang pelaku di kemudian hari.

Sebuah tindakan yang buruk, dapat menabung kebencian, sumpah-serapah, kesulitan, juga pintu kesempatan yang tertutup. Begitu pula sebaliknya. Karma, ia menyimpan gerak-gerik kita bagai rangkaian asam dan protein dalam DNA, menunggu saat yang tepat untuk menyampaikannya kepada semesta buat direspon sepanjang lajur daur hidup sang jiwa. Seperti yang dapat dilihat pada ilustrasi kartu oracle Karma ini, bentuknya adalah dua ekor ular (serpent) yang melilit, membentuk double helix semacam DNA. Anehnya, dapat diamati pula beberapa kasus saat data DNA fisik lilitannya berkelindan dengan karma. Semacam karma bawaan lahir. Membawa, entah konsekuensi yang masih belum terselesaikan, pertanyaan yang belum terjawab, atau permasalahan dalam keluarga lainnya. Maka mungkin iya juga, karma hanyalah sebuah konsep yang hadir hanya untuk menghadirkan konsekuensi-konsekuensi yang menyebalkan.

Namun terlepas dari bayangan agak mengerikan bahwa karma dapat mencatat semua, dan seluruh gerak-gerik kita akan direspon semesta, sama seperti konsep bahwa mobil akan berhenti bila direm; bahwa pergerakan benda-benda dapat memengaruhi satu-sama-lain lewat massa, gaya, dan daya; karma adalah sebuah konsep sederhana. Ia ada merespon sebab dan akibat (causality) dari perilaku jiwa. Simbolismenya dalam Hindu digambarkan sebagai ikatan yang terus berputar tidak berhenti, memang sebuah rangkaian kejadian yang terus saling mempengaruhi. Bukan sekedar tentang bagaimana orang harus dihukum atau diberi hadiah atas perilakunya, tapi bagaimana seseorang itu sedang hidup dalam sebuah sungai yang mengalir. Kalau kita baik, maka baiklah kita. Karma sendiri hanya berlaku sebagai timbangan yang adil. Tidak ingin menjahati, tapi tidak ingin jadi sok baik hati. Yang membuat jahat kita, yang membuat baik juga kita. Menyumpahinya hanya seperti menyumpahi diri sendiri.
Just be nice to ourselves and others, so our souls can be cool together. (IoTheMoon)

Inspirasi dari kartu oracle DNA Karma – Earth Magic Oracle Cards

This entry was posted in : Renungan
And tagged : , , , , , , ,

Leave a Reply