Kemalasan Adalah Surga, Surga yang Seperti Apa?
Kemalasan itu indah adanya. Titik!
Kalau ada surga, ada neraka, maka ada malas di tengah-tengahnya. Ia tak sepenuhnya jahat, namun tak terlahir baik. Seperti bumi yang ada di antara yang divine dan yang evil, itulah malas. Malas adalah manusia yang semanusia-manusianya.
Bayangkan saja sebuah situasi di pukul 12 malam, di mana ada sebuah pekerjaan penting yang sudah menunggu dikerjakan sedari kemarin. Pekerjaan itu harus selesai bagaimanapun juga. Namun badan terasa sudah amat lelah, berat. Perasaan tidak ingin mengerjakan, ngantuk, dan bermacam-macam gejala yang kita jadikan satu kategori dalam perasaan ‘malas’ mulai mengintip. Tidak ada seorang pun yang dapat disalahkan (kecuali diri sendiri) kalau yang akhirnya dipilih adalah kalah bermalas-malas, atau tidur.
Mungkin terkadang malas memang sebuah pilihan yang paling logis untuk tubuh. Mungkin sejatinya ia hadir sebagai sebuah sistem konservasi energi yang unik dan berharga. Sebuah cara tubuh untuk menjaga dirinya sendiri. Mencegah tubuh kita bekerja terlalu keras dan cepat rusak, maka saat merasakan lelah atau bosan, pikiran mulai membisikkan cara-cara agar tubuh bisa beristirahat. Terkadang tubuh juga mengolah dan mengidentifikasi sinyal-sinyal lelah itu. Menentukan apakah yang butuh istirahat pikirannya, atau tubuh fisiknya. Canggih bukan? Pada porsinya, malas datang sebagai pelaras harmoni dengan tubuh. Sebuah rasa yang terus menjaga agar kita dapat selalu berjalan dengan kondisi prima dan bahagia.
Toh, menjadi malas, apa pun bentuknya, adalah sesuatu yang logis dilakukan. Entah itu duduk-duduk selepas macul atau bersantai menonton film sebagai ‘bayaran’ seharian kerja akan selalu jadi hal yang wajar dan menyenangkan. Pembalap saja selalu mencari cara untuk tidak menempuh jalur yang terjauh dan terberat; mengikuti racing line untuk dapat jarak dan waktu tempuh yang paling efisien. Malas itu efisiensi!
Betulkah begitu? Siapa tahu. Sepertinya, sih, tidak selalu. Maka izinkanlah saya, yang berbekal kepakaran cukup mendalam di bidang kemalasan, dengan hitungan waktu rebahan mencapai ribuan jam per bulan, waktu menonton dan scrolling-scrolling instagram puluhan jam per hari, dan procrastinating time ratusan jam per minggu menguji teori tersebut. Saya menjalankan sebuah penelitian sekenanya dengan melakukan binge-watching 112 episode film seri dalam 4 hari. Premisnya adalah mengetahui, seberapa efisienkah kemalasan itu? Dilakukan dengan meneliti fase malas-malasan ‘istirahat sejenak’ dari berhasilnya 2-3 pekerjaan yang yaaah, tidak terlalu sulit, namun melelahkan juga.
Dari penelitian tersebut terlahir sebuah kesimpulan yang agaknya sudah dapat diprediksi: malas-malasan dalam taraf yang saya ujikan ini dapat dibilang agak jauh dari sebuah efisiensi. Pun bukan suatu cara yang wajar dan menyenangkan untuk mengumpulkan energi. Dari total 92 jam yang tersedia di keempat hari tersebut, berarti waktu yang dibutuhkan untuk menonton seluruh episode 30 menit adalah 54 jam. Hanya menyisakan 42 jam waktu lainnya. Bayangkan saja. Tidur jadi tidak nyaman, aktivitas jadi tidak jelas. Emosi dan pikiran rasanya remuk-redam. Kesadaran rasanya 100% teredam dalam tonton-menonton.
Malas tidak bisa datang tanpa konsekuensi. Menjadi malas dapat juga menjadi sebuah state of mind yang tidak mengenakkan. Sebuah situasi seperti yang dijalani si orang dalam kartu tarot Laziness ini; bersantai dalam telaga yang bukan tujuan akhirnya; dihantui cermin pecah, melambangkan ketidakkokohan yang tidak terlalu kentara, namun menyebalkan kehadirannya. Dan melepaskan rasa tidak enak itu tidak selalu mudah. Bisa-bisa, sebelum sempat kita sadari, malas-malasan sudah menjadi ritme beroperasi baru yang diadopsi tubuh. Sungguh kebalikan dari efisiensi.
Sampai pada titik ini, mulai muncul sebuah garis tipis membatasi antara malas dengan panggilan untuk istirahat. Tubuh dan diri itu terus berproses. Memang beristirahat itu perlu untuk menjaga efisiensi. Tapi malas-malasan ternyata tidak selalu berarti istirahat, dan istirahat tidaklah selalu berarti malas. Kalau ada racing line yang memotong jalur untuk dapat yang paling efisien, ada braking zone yang harus ditaati. Tempat-tempat, zona-zona yang tepat untuk melambat. Mentang-mentang efisien, bukan berarti bisa seenaknya jalan pelan-pelan.
Tapi lagi-lagi, malas atau tidak itu kembali pada penilaian masing-masing. Apakah aku terlalu malas? Kenapa dia lebih rajin? Setiap orang punya toleransi malas yang berbeda-beda. Garisnya tipis dan tidak penting. Nah, tapi kalau kartu Laziness dari Osho Zen Tarot ini sudah muncul, kemungkinan sih di situ batasnya hehehe…
And tagged : baik, berharga, bumi, divine, energi, evil, harmoni, jahat, kartu tarot, kemalasan, konservasi, malas, neraka, ozho zen tarot, surga, tarot, unik