Lautan Kosmos-Throw Yourself Away Into the Milky Way (and beyond)
Kita ada di bumi, mengambang dalam tata surya sebuah bintang bernama matahari, di dalam sebuah kompleks bernama Bimasakti. Kalau skalanya terus diperbesar, alamat ini dapat dilanjutkan sampai sangat panjang. Sampai pada kluster galaksi dan alam semesta (observable universe) itu sendiri. Padahal untuk pergi dari ujung Bimasakti ke ujung satunya saja, cahaya, benda paling cepat di alam semesta sudah butuh 100.000 tahun. Apalagi untuk menjelajahi skala yang lebih luas itu. Lama sekali. Luas sekali. Voyager, alat penjelajah angkasa terjauh yang dikirim dari bumi masih berada di dalam jangkauan 0,002 tahun cahaya. Dalam luas semesta, bumi dan manusia bukanlah apa-apa.
Kalau mengutip dari Carl Sagan, seorang astrophysicist yang keren, bumi ini hanyalah tepian dari lautan kosmos; lautan tatanan semesta. Dari tepian ini kita mempelajari sedikit-sedikit tentang sang lautan, mengamati dan mengobservasinya sepanjang umur peradaban manusia. Malam-malam cerah tak berawan membawa kita berkelana dan mengandaikan isinya. Mengamati semua yang terlihat di kubah langit malam. Dari bintang pengelana* sampai semua bintang-bintang yang redup dan terang. Bintik-bintik berdenyut hidup di langit, yang seakan disokong dalam satu tulang punggung malam; cipratan susu Ibu Bumi, Milky Way (nama lain Bimasakti).
Sampai sekarang pembelajaran itu terus berlanjut. Sampai kita sadar bahwa tulang punggung malam hanyalah satu cabang dari sebuah galaksi saja. Sampai kita sadar kalau gemerlap di kubah malam yang menyelimuti adalah tetangga-tetangga angkasa yang bisa kita sambangi. Walaupun begitu, perjalanan mengamati lautan ini tidak terus kehilangan romantismenya. Bagaimanapun juga, kita seakan selalu tertarik pada lautan yang luas nan gelap-gemerlap ini. Mendalaminya seakan jadi salah satu nilai manusia yang tidak boleh berhenti dari generasi ke generasi. Bahkan tetap bertahan, walau sempat bertabrakan dengan nilai-nilai lain (seperti misalnya agama abad pertengahan yang sempat banyak menentang ide-ide tatanan semesta).
Karena dalam pengamatan ini kita berkenalan, meneliti, melihat cerminan diri. Semengerikan, seluas, sekompleks apapun; itu adalah kita. Kata Carl Sagan lagi; “we’re made of (the same) starstuff.” Kita adalah chaos yang saling isi. Besar-kecil, sini-sana, semua sebatas apa yang bisa kita cerna. Pada dasarnya kita bersaudara dalam debu bintang dan energi semesta.
Hidup kita adalah Galaksi Bimasakti dan melampauinya! Kartu oracle Milky Way ini seakan mengingatkan itu. Hidup kita luas. Kita bisa melihat dan merefleksikannya dari banyak sisi, karena bentuk kita bisa jadi tidak hanya apa yang kita lihat dan jalani saat ini. Skala yang kita jumpai dalam perjalanan ini sangat mengerikan, namun juga menarik. Kita dapat kesempatan untuk melihatnya, menikmatinya, jadi bagian darinya. Semoga kita bisa mengolahnya, sebaik-baiknya! (iothemoon)
*di masa-masa awal astronomi, planet-planet dalam tata surya dilihat sebagai bintang pengelana. Gerakan orbitnya membuat mereka terlihat seperti terus berkelana di langit malam dari bulan ke bulan, berbeda dengan bintang yang cenderung diam.
And tagged : alam semesta, angkasa, bimasakti, bintang, bumi, cahaya, cerminan diri, energi semesta, galaksi, ibu bumi, kartu, kosmos, lautan, matahari, milky way, oracle, tata surya